27/10/11

Era “Si Doel” Dalam Periklanan, Iklan antara Imajiner dengan Realitas !!


Siapa mau memungkiri kenyataan ini? Tengah asik-asik nonton tayangan iklan di televisi, diinterupsi oleh sebuah program. Begitulah, kita harus menggambarkab kehidupan sehari-hari masyarakat kontemporer sekarang.
Begitu penuhnya hidup kita dikepung oleh iklan-iklan lewat televisi, media cetak, radio, billboard di jalan-jalan,sehingga “kenormalan” hidup adalah rimba raya iklan itu sendiri. Setelah menyaksikan film horor atau idealisasi pidato politik yang susah kita lihat kenyataannya di sekitar kita, hidup kita pun kembali menjadi “normal” begitu program tadi usai dan iklan muncul.
Apa sih sekarang yang tidak diiklankan….dunia periklanan tidak hanya mengiklankan produk dagang, tetapi juga program pemerintah. Lihatsaja penyebarluasan informasi KB (Keluarga Berencana) oleh Shiren Sungkar dan pacarnya, atau kalau zaman dulu mengenai informasi PIN (Pekan Imunisasi Nasional) oleh Rano Karno.
Pada tingkat pertama, iklan telah membentuk sebuah “hiper-realitas), dimana bukan saja sesuatu yang bisa disentuh dengan indera (tangible) itu saja yang “real”, yang nyata. Raymond Williams menyebut iklan mentransformasikan produk komoditi menjadi dunia imajiner.
Masih ingat iklan “larutan penyegar” yang konon bisa menyembukhan “panas dalam”? menurut majalah kalangan periklanan, Cakram, disebut bagaimana istilah “panas dalam” itu sendiri diperdebatkan karena dalam kamus kedokteran tidak ada istilah ini. Begitu pula istilah “larutan penyegar”. Apa bedanya dengan obat, jamu, minuman, dan lain-lain?
Yang jelas, masih menurut majalah itu,iklan tadi berhasil mendongkrak omset penjualan produk itu sampai Rp 100 milyar. Sukses membentuk state of mind masyarakat bahwa ada penyakit “panas dalam” berikut angka menggiurkan hasil penjualan produk tadi, telah membawa produsen lain mengeluarkan produk serupa. Dan makin ramailah kancah “perang iklan”.
Ajang pertempuran akhirnya bukan semata-mata pada produk, tetapi pada image atau citra, dan disitulah dalam industri kebudayaan sebuah individu dihilangkan, atau dalam istilah Adorno dan Horkheimer individu dijadikan ilusi. Individu hanya diperhitungkan dalam standarisasi segemnt. Dalam konteks ini, individu tak ubahnya sebuah “pseudo-individu” alias “individu gadungan”.
Iklan telah merekonstruksi masyarakat, di mana citra adalah segala-galanya. Semua proses itu tumpang tindih dengan institusi=institusi modern termasuk pemerintah yang dalam dunia kontemporer ini juga beroperasi di tingkat citra, simbol, dan tanda-tanda.
Kemunculan Si Doel contohnya, dulu sejak ia menjadi tokoh utama dalam kisah si doel anak sekolahan, ia ramai dibicarakan oleh masyarakat kita, sosok nya yang bijaksana diperankan begitu baik oleh Rano Karno. Kemudian ia baru-baru ini dicalonkan sebagai wakil gubernur Banten.
Kemunculan “Si Doel” dalam dunia imajiner dan dunia nyata makin melelehkan batas apa itu sebenarnya citra dan apa itu kenyataan. Dalam konteks komersial, tentu obscurity atau ketidakjelasan ini diperlukan, sebagaimana tidak perlunya klarifikasi, “panas dalam” itu ada atau tidak.
Orang mungkin tidakpterlalu peduli pada pengaburan persoalan pada tingkat remeh-temeh seperti urusan panas dalam tadi. Tapi, bagaimana ketika antara citra dan hal lain yang substansil yang diluar urusan remeh-temeh gaya hidup juga hendak dikaburkan???
Posisi iklan di tengah masyarakat telah melangkah jauh melebihi konteks komersial. Dengan menyerukan kewaspadaan terhadap ancaman “panas dalam” misalnya, iklan membentuk sebuah kawasan kepercayaan bahwa “ancaman” tadi ada, real.
Anda masih belum aman dari ancaman sariawan kalau belum minum “larutan penyegar”. Anda belum modern kalau belum menggunakan kartu kredit.
Iklan, kata Gary day, mengembangkan “rasa tidak aman”. Ia mendorong konsumen pada semacam kepercayaan, bahwa kondisi kita tak pernah beres, tak pernah lengkap, tanpa sesuatu yang diiklankan itu.
Dengan kata lain, “dunia masa mendatang” seperti disarankan iklan, sebetulnya tidak pernah ada. Iklan memang membuat orientasi ke “ masa depan”, agar konsumen mendapat sesuatu. Namun, yang dijanjikan itu sebenarnya ilusi.
Maka jadilah, konsumen semata-mata dipenjarakan oleh kekinian berikut “nafsu mengkonsumsi”. Kondisi ini, tentu punya kecenderungan merusak kepekaan manusia pada hal-hal yang lain, misalnya antusiasme terhadap masa lampau, sejarah, kalangan yang kurang berpunya, rasa keadilan, dan lain-lain.
Terbawakah kita khususnya dalam “arus” ini???
Bre, R.
Salam Tyasinor : )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar