Baru- baru ini kekerasan
pada pers kembali terjadi, tepatnya Senin (7/11) siang, di Pengadilan Negeri
Tangerang, Banten. Oknum yang melakukan kekerasan ini adalah mertua dari Wakil
Wali Kota Tangerang Arief R. Wismansyah, Rusman Umar. Ia terpidana kasus
narkotika. Ia mengamuk saat wartawan yang mengabadikan dirinya usai divonis.
Sidang pembacaan vonis terhadap terdakwa Rusman Umar (61) dan istri keduanya,
Ayu Wulandira (43).
Rusman divonis bersalah
atas kepemilikan narkotik jenis shabu. Namun terdakwa hanya divonis satu tahun untuk menjalani masa
rehabilitasi di Badan Narkotika Nasional. Padahal, terdakwa sebelumnya pernah tertangkap dan menjalani sidang
kasus serupa?????
Setelah persidangan,
terpidana marah kepada wartwan yang hendak mengambik gambar dirinya. Kemudian,
kamera milik Wawan Kurniawan, kamerawan lepas SCTV, rusak parah setelah dipukul
oleh terpidana. Tidak hanya itu, terpidana pun mengejar para wartawan, meludahi
dan mengancam para wartawan yang lainnya.
Kejadian tersebut
menambah daftar panjang kekerasan yang terjadi pada wartawan di Indonesia. Padahal
katanya, kerja para jurnalis ini jelas-jelas dilindungi oleh UU Pers Nomor 40
Tahun 1999.
Cek DI SINI kalo lupa : )
Setelah rezim orde baru
usai, kemerdekaan pers serasa sudah di tangan, para jurnalis bebas
mengekspresikan apa yang mereka mau beritakan kepada masyarkat. Namun, menurut
saya pers sekarang sudah sedikit bebas kebablasan????
Benarkah pers sudah
merdeka, menjadi sebuah tanda tanya besar yang harus dipertanyakan. Setelah
orde baru usai, para jurnalis malah banyak mendapat kekerasan tidak hanya itu
beberapa sampai ada yang mati terbunuh, dan kasusnya menggantung seperti
jemuran yang tidak diangkat-angkat.
Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Pers mencatat kasus kekerasan terhadap jurnalis selama tahun 2011
mencapai 61 kasus, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 66
kasus.
Disebutkan, sejak 2003 hingga 2011 ini, LBH Pers mencatat kasus kekerasan terhadap jurnalis sebanyak 344 kasus kekerasan, baik fisik maupun nonfisik.
Disebutkan, sejak 2003 hingga 2011 ini, LBH Pers mencatat kasus kekerasan terhadap jurnalis sebanyak 344 kasus kekerasan, baik fisik maupun nonfisik.
Dengan jumlah per
tahunnya sebagai berikut, 2003 tercatat 54 kasus, 2004 sebanyak 26 kasus, 2005
sebanyak 34 kasus, tahun 2006 sebanyak 23 kasus, 2007 sebanyak 37 kasus, 2008
sebanyak 17 kasus, 2009 sebanyak 69 kasus, 2010 sebanyak 66 kasus, 2011
sebanyak 61 kasus hingga bulan Juli.
Menurut Aliansi
Jurnalis Independen (AJI),
dari bulan Januari hingga Mei tahun 2011 telah terjadi 23 kasus tindak
kekerasan kepada wartawan. Hal itu disampaikan oleh Eko Maryadi, Divisi
advokasi Aji Indonesia
Catatan
lebih dahsyat sebenarnya terjadi dalam setahun terakhir, 10 wartawan tewas
terbunuh. Lima di antaranya terjadi pada tahun 2010, yakni terhadap Ardiansyah,
Matrais (Papua), Ridwan Salamun, Alfrets Mirulewan (Maluku), dan Anak Agung
Prabangsa (Bali).
Di sini terlihat
bahwa ada kekebalan hukum dari pelaku kekerasan terhadap wartawan. Ardiansyah
misalnya kematiannya dianggap bunuh diri. Akibatnya pelaku dibiarkan bebas
tanpa ada hukuman.
Begitu juga dengan Ridwan Salamun. Meski pelakunya
sudah diproses hukum, tapi di pengadilan dia dinyatakan bebas.
Selain intimidasi berupa penganiayaan, ada “keunikan” dalam varian kekerasan. Misalnya saat wartawan Jurnal
Bogor, Eka Rachmawati, diculik dari kantornya saat sedang mengetik berita.
Penculiknya ialah bos Hotel Raja In. Penyebabnya, sang wartawati pernah menulis
tentang penangkapan pekerja seks komersial (PSK) di hotel tersebut. Pemilik
hotel tak senang nama hotelnya ditulis atas berita itu. Eka mengalami trauma
panjang pascapenculikan. Ia memang tak mengalami intimidasi fisik. Akan tetapi,
ancaman pemilik hotel membuat batinnya tersiksa.
Meskipun
kasus kekerasan terhadap wartawan di Indonesia sangat tinggi, upaya penegakan
hukum terhadap kasus-kasus ini masih rendah.
Masih bisa menilai pers
sudah merdeka ???
Salam Tya sinor : )
KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES