Siapa mau memungkiri kenyataan
ini? Tengah asik-asik nonton tayangan iklan di televisi, diinterupsi oleh
sebuah program. Begitulah, kita harus menggambarkab kehidupan sehari-hari
masyarakat kontemporer sekarang.
Begitu penuhnya hidup kita
dikepung oleh iklan-iklan lewat televisi, media cetak, radio, billboard di
jalan-jalan,sehingga “kenormalan” hidup adalah rimba raya iklan itu sendiri.
Setelah menyaksikan film horor atau idealisasi pidato politik yang susah kita
lihat kenyataannya di sekitar kita, hidup kita pun kembali menjadi “normal”
begitu program tadi usai dan iklan muncul.
Apa sih sekarang yang tidak
diiklankan….dunia periklanan tidak hanya mengiklankan produk dagang, tetapi
juga program pemerintah. Lihatsaja penyebarluasan informasi KB (Keluarga
Berencana) oleh Shiren Sungkar dan pacarnya, atau kalau zaman dulu mengenai
informasi PIN (Pekan Imunisasi Nasional) oleh Rano Karno.
Pada tingkat pertama, iklan telah
membentuk sebuah “hiper-realitas), dimana bukan saja sesuatu yang bisa disentuh
dengan indera (tangible) itu saja
yang “real”, yang nyata. Raymond Williams menyebut iklan mentransformasikan
produk komoditi menjadi dunia imajiner.
Masih ingat iklan “larutan
penyegar” yang konon bisa menyembukhan “panas dalam”? menurut majalah kalangan
periklanan, Cakram, disebut bagaimana istilah “panas dalam” itu sendiri
diperdebatkan karena dalam kamus kedokteran tidak ada istilah ini. Begitu pula
istilah “larutan penyegar”. Apa bedanya dengan obat, jamu, minuman, dan
lain-lain?
Yang jelas, masih menurut majalah
itu,iklan tadi berhasil mendongkrak omset penjualan produk itu sampai Rp 100
milyar. Sukses membentuk state of mind masyarakat bahwa ada penyakit “panas dalam”
berikut angka menggiurkan hasil penjualan produk tadi, telah membawa produsen
lain mengeluarkan produk serupa. Dan makin ramailah kancah “perang iklan”.
Ajang pertempuran akhirnya bukan
semata-mata pada produk, tetapi pada image atau citra, dan disitulah dalam
industri kebudayaan sebuah individu dihilangkan, atau dalam istilah Adorno dan
Horkheimer individu dijadikan ilusi. Individu hanya diperhitungkan dalam
standarisasi segemnt. Dalam konteks ini, individu tak ubahnya sebuah “pseudo-individu”
alias “individu gadungan”.
Iklan telah merekonstruksi
masyarakat, di mana citra adalah segala-galanya. Semua proses itu tumpang
tindih dengan institusi=institusi modern termasuk pemerintah yang dalam dunia
kontemporer ini juga beroperasi di tingkat citra, simbol, dan tanda-tanda.
Kemunculan Si Doel contohnya,
dulu sejak ia menjadi tokoh utama dalam kisah si doel anak sekolahan, ia ramai
dibicarakan oleh masyarakat kita, sosok nya yang bijaksana diperankan begitu
baik oleh Rano Karno. Kemudian ia baru-baru ini dicalonkan sebagai wakil
gubernur Banten.
Kemunculan “Si Doel” dalam dunia
imajiner dan dunia nyata makin melelehkan batas apa itu sebenarnya citra dan
apa itu kenyataan. Dalam konteks komersial, tentu obscurity atau ketidakjelasan
ini diperlukan, sebagaimana tidak perlunya klarifikasi, “panas dalam” itu ada
atau tidak.
Orang mungkin tidakpterlalu
peduli pada pengaburan persoalan pada tingkat remeh-temeh seperti urusan panas
dalam tadi. Tapi, bagaimana ketika antara citra dan hal lain yang substansil
yang diluar urusan remeh-temeh gaya hidup juga hendak dikaburkan???
Posisi iklan di tengah masyarakat
telah melangkah jauh melebihi konteks komersial. Dengan menyerukan kewaspadaan
terhadap ancaman “panas dalam” misalnya, iklan membentuk sebuah kawasan
kepercayaan bahwa “ancaman” tadi ada, real.
Anda masih belum aman dari
ancaman sariawan kalau belum minum “larutan penyegar”. Anda belum modern kalau
belum menggunakan kartu kredit.
Iklan, kata Gary day,
mengembangkan “rasa tidak aman”. Ia mendorong konsumen pada semacam
kepercayaan, bahwa kondisi kita tak pernah beres, tak pernah lengkap, tanpa
sesuatu yang diiklankan itu.
Dengan kata lain, “dunia masa
mendatang” seperti disarankan iklan, sebetulnya tidak pernah ada. Iklan memang
membuat orientasi ke “ masa depan”, agar konsumen mendapat sesuatu. Namun, yang
dijanjikan itu sebenarnya ilusi.
Maka jadilah, konsumen
semata-mata dipenjarakan oleh kekinian berikut “nafsu mengkonsumsi”. Kondisi
ini, tentu punya kecenderungan merusak kepekaan manusia pada hal-hal yang lain,
misalnya antusiasme terhadap masa lampau, sejarah, kalangan yang kurang
berpunya, rasa keadilan, dan lain-lain.
Terbawakah kita khususnya dalam “arus”
ini???
Bre, R.
Salam Tyasinor : )