02/11/11

PRT DAN POLITIK IDENTITAS


Gaya hidup berikut simbol-simbolnya sekarang tengah mengguncang hegemoni para majikan terhadap para pembantunya. Membungkus elevasi kehidupan para pembantu tadi, sebenarnya ada perubahan-perubahan simbolik yang diam-diam menggoyang hegemoni. Llihat sajalah evolusi sebutan mereka: dalam masyarakat tradisional (Jawa) disebut “batur”, “babu”, kemudian menjadi “pembantu”, “pembantu rumah tangga” alias “PRT”. Sebuah keluarga intelek di Jakarta Selatan bahkan menyebut pembantunya house keeper.
Perubahan simbolik ini bertaut-taut dengan perubahan real operasi kegiatan mereka. Kalau dalam konteks “batur” artinya mereka mengabdi, kini pekerjaan mereka sangat bermaknaatau hendak dimaknakan sebagai “profesionalisme”.
Lihatlah biro=biro penyalur PRT pada masa menjelang lebaran. Cara pengelolaan sampai sistem pembayaran pada para PRT didasarkan pada hitungan yang sifatnya “profesional”.
Kalangan majikan di Jakarta dalam saat-saat seperti Lebaran atau Natal umumnya kalang kabut, mencari siapa orang yang bakal menggantikan tugas mencuci, mengepel, memasak, memberi makan hewan piaraan dan alin-lain.
Digagas dengan konsep hegemoni, inilah mungkin “perubahan keseimbangan” yang disebut Antonio Gramsci. Hegemoni dimaksud di sini dipinjam dari konsep Gramsci, untuk melukiskan dominasi yang tidak kelihatan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain. Begitu subtilnya dominasi tersebut, sehingga oleh Barthes disebut “mitologi”, yang fungsinya untuk menjadikan dominasi tersebut seperti sesuatu yang “alami”, sesuatu yang “normal”.
Padahal tidak. Hegemoni bukanlah sesuatu yang alami, sehingga agar langgeng dia harus dipertahankan, direproduksi dengan simbol-simbol. Diam-diam, para pembantu juga tengah mereproduksi simbol-simbol sendiri, yang sampai pada tingkat riil berupa tawaran atas imbalan “ tenaga profesional” mereka lebih-lebih di hari-hari sulit seperti Lebaran dan Natal.
Gaya para pembantu di saat mudik sekarang juga menunjukkan betapa gaya hidup punya peranan besar dalam menggerogoti hegemoni tadi.
Dalam kacamata orang yang tergila-gila pada post modernism, inilah yang disebut “politik identitas”. Para pembantu tengah menyatakan haknya, menciptakan simbol=simbolnya,persis seperti dalam percaturan di wilayah –wilayah kehidupan yang lain.
Bandingannya sebagai contoh “sastra pedalaman”, yang mengklaim otoritasnya sendiri untuk melepaskan diri dari dominasi media massa yang mereka curigai tidak memihak mereka. Dulu, tak ada istilah “sastra pedalaman”. Yang ada hanya sastra yang jelak dan tak layak di muat di koran atau majalah. Kemudian, mereka membuat simbol-simbol sendiri, termasuk simbol “ sastra pedalaman”.
Kuncinya reproduksi dam distribusi simbol. Gaya para pembantu dalam arus mudik seperti sekarang ini sebagian merupakan eksposisi simbol-simbol, termasuk simbol “kesenangan” (pleasure) serta “ pencapaian” (achievement). Mereka telah menaklukan ubukota. Itulah “politik identitas”. Para pembantu tengah melakukan tawar menawar terhadap pihak yang mendominasinya, yang saat ini boleh jadi sedang sebal, atau mungkin sedang melihat tingkah mereka sembari tertawa-tawa…..

Bre R


Salam Tya Sinor : )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar