Gaya hidup berikut simbol-simbolnya sekarang tengah
mengguncang hegemoni para majikan terhadap para pembantunya. Membungkus elevasi
kehidupan para pembantu tadi, sebenarnya ada perubahan-perubahan simbolik yang
diam-diam menggoyang hegemoni. Llihat sajalah evolusi sebutan mereka: dalam
masyarakat tradisional (Jawa) disebut “batur”, “babu”, kemudian menjadi “pembantu”,
“pembantu rumah tangga” alias “PRT”. Sebuah keluarga intelek di Jakarta Selatan
bahkan menyebut pembantunya house keeper.
Perubahan simbolik ini bertaut-taut dengan perubahan real
operasi kegiatan mereka. Kalau dalam konteks “batur” artinya mereka mengabdi,
kini pekerjaan mereka sangat bermaknaatau hendak dimaknakan sebagai “profesionalisme”.
Lihatlah biro=biro penyalur PRT pada masa menjelang lebaran.
Cara pengelolaan sampai sistem pembayaran pada para PRT didasarkan pada
hitungan yang sifatnya “profesional”.
Kalangan majikan di Jakarta dalam saat-saat seperti Lebaran
atau Natal umumnya kalang kabut, mencari siapa orang yang bakal menggantikan
tugas mencuci, mengepel, memasak, memberi makan hewan piaraan dan alin-lain.
Digagas dengan konsep hegemoni, inilah mungkin “perubahan
keseimbangan” yang disebut Antonio Gramsci. Hegemoni dimaksud di sini dipinjam
dari konsep Gramsci, untuk melukiskan dominasi yang tidak kelihatan oleh suatu
kelompok terhadap kelompok lain. Begitu subtilnya dominasi tersebut, sehingga
oleh Barthes disebut “mitologi”, yang fungsinya untuk menjadikan dominasi
tersebut seperti sesuatu yang “alami”, sesuatu yang “normal”.
Padahal tidak. Hegemoni bukanlah sesuatu yang alami,
sehingga agar langgeng dia harus dipertahankan, direproduksi dengan
simbol-simbol. Diam-diam, para pembantu juga tengah mereproduksi simbol-simbol
sendiri, yang sampai pada tingkat riil berupa tawaran atas imbalan “ tenaga
profesional” mereka lebih-lebih di hari-hari sulit seperti Lebaran dan Natal.
Gaya para pembantu di saat mudik sekarang juga menunjukkan
betapa gaya hidup punya peranan besar dalam menggerogoti hegemoni tadi.
Dalam kacamata orang yang tergila-gila pada post modernism,
inilah yang disebut “politik identitas”. Para pembantu tengah menyatakan
haknya, menciptakan simbol=simbolnya,persis seperti dalam percaturan di wilayah
–wilayah kehidupan yang lain.
Bandingannya sebagai contoh “sastra pedalaman”, yang
mengklaim otoritasnya sendiri untuk melepaskan diri dari dominasi media massa
yang mereka curigai tidak memihak mereka. Dulu, tak ada istilah “sastra
pedalaman”. Yang ada hanya sastra yang jelak dan tak layak di muat di koran
atau majalah. Kemudian, mereka membuat simbol-simbol sendiri, termasuk simbol “
sastra pedalaman”.
Kuncinya reproduksi dam distribusi simbol. Gaya para
pembantu dalam arus mudik seperti sekarang ini sebagian merupakan eksposisi
simbol-simbol, termasuk simbol “kesenangan” (pleasure) serta “ pencapaian” (achievement).
Mereka telah menaklukan ubukota. Itulah “politik identitas”. Para pembantu
tengah melakukan tawar menawar terhadap pihak yang mendominasinya, yang saat
ini boleh jadi sedang sebal, atau mungkin sedang melihat tingkah mereka sembari
tertawa-tawa…..
Bre R
Salam Tya Sinor : )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar