04/10/11

BINATANG KU SAYANG BINATANG KU MALANG


Orangutan Kalimantan, Pongo pygmaeus, adalah spesies orangutan asli pulau Kalimantan. Bersama dengan orangutan Sumatra yang lebih kecil, orangutan Kalimantan masuk kedalam genus pongo yang dapat ditemui di Asia. Orangutan Kalimantan memiliki lama waktu hidup selama 35 sampai 40 tahun di alam liar, sedangkan di penangkaran dapat mencapai usia 60 tahun. (Wikipedia).
Saat ini,orang utan di ibukota khususnya Ibukota Jakarta, marak dijadikan sebagai pencari nafkah. Mereka dibeli, kemudian dilatih agar menghasilkan uang untuk si empunya. Si monyet, hanya sekedar monyet, ia hanya bisa melakukan apa yang dilatih oleh empunya.
Kisah orangutan di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Sampai sampai Presiden SBY menyampaikan peringatan, ”Populasi orangutan berkurang karena hutan sebagai rumahnya makin mengecil. Dengan melestarikan hutan, kita akan melestarikan orangutan”. Namun sayang, peringatan ini baru sebatas ungkapan yang belum ditindaklanjuti dengan penegakan hukum yang tegas dalam menjaga dan memelihara hutan kita. Masih sangat banyak kalangan pejabat ikut terlibat merusak hutan.
Sejarah orangutan dimulai pada periode Pleiston, dua juta hingga satu juta tahun yang lalu, dengan penyebaran hampir mencakup sebagian besar Asia Tenggara. Populasi orangutan perlahan namun pasti semakin berkurang dan hanya dapat dijumpai di daerah Kalimantan dan Sumatra. Dengan kata lain, orangutan sekarang pada tahap akan punah. Hal ini dapat kita lihat pada Daftar Merah Mamalia IUNC (IUNC Red List of Mammals), berdasarkan Appendix 1 CITIS, populasi orangutan Borneo diperkirakan tingal sekitar 50.000 individu saja di alam, sedangkan spesies Sumatra hanya tersisa tidak lebih dari 6.650 individu saja. Jumlah yang sangat sedikit.
 Sebenarnya sudah ada undang-undang yang melindungi orangutan ini, yaitu UU No. 5 Tahun 1990. Secara tegas undang-undang tersebut melarang individu untuk menangkap, memelihara, memindahkan dan memperdagangkan hewan yang dilindungi dalam kondisi hidup, atau mindahkan hewan yang dilindungi di dalam atau di luar wilayah Indonesia. Namun beginilah wajah hukum di negara kita, selalu ada negosiasi dalam pelaksanaannya. Selalu ada upaya untuk menghindarkan diri dari jeratannya. Semua bisa diatur, semua bisa diminta “kebijaksanaannya”.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, orang utan di wilayah Kalimantan dibunuhi. Mereka terus dibantai, sebagai dampak dari pembabatan hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawit.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA Kaltim) dan Centre for Orangutan Protection (COP) telah mengevakuasi sedikitnya empat orangutan dari Muara Kaman, di sekitaran kawasan konsesi PT Khaleda, anak perusahaan Metro Kajang Holdings Berhad Malaysia dan PT Anugerah?Urea Sakti.
Juru kampanye COP Hardi Baktiantoro, mengatakan puluhan ekor orangutan Kalimantan (Pongo Pygmaeus) tewas mengenaskan di area perkebunan kelapa sawit di sekitaran Kutai Kartanegara. Hardi menuding, meski para pemburu bayaran itu mengaku telah membunuh banyak induk orangutan dan para pekerja mengakui perbuatan menyebarkan pisang yang sudah disemprot furadan untuk meracuni orangutan.
Sayangnya hingga hari ini, polisi tidak juga menetapkan seorang pun jadi tersangka dan tidak ada yang dipenjara. "Ini mengecewakan dan membahayakan bagi kelangsungan hidup orangutan," ujar Hardi dalam siaran pers yang diterima Republika.
Situasi yang sama terjadi di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur. Pada 26 Juli 2011, BKSDA dan COP terpaksa mengevakuasi dua orangutan. Satu induk orangutan diidentifikasikan dibunuh para pekerja sawit Makin Group. Dikatakan Hardi, ketika kuburannya orangutan dibongkar untuk mengetahui penyebab kematiannya.
Hasil identifikasi menyatakan, mayat orangutan tersebut babak belur seperti terkena pukulan yang dilakukan berulangkali, kedua pergelangan tangannya luka dan jarinya putus.
Adapun di Kalimantan Tengah, COP mengidentifikasi satu tengkorak orangutan di sekitaran areal konsesi PT TASK dan mengevakuasi tiga anak orangutan yang ditangkap pekerja setempat. "COP juga menemukan empat tengkorak orangutan di areal konsesi Wilmar Group pada 20 Agustus 2011."
Hardi menilai kematian puluhan orangutan bukan terjadi karena konflik manusia dengan jenis binatang primata tersebut, melainkan upaya genocide (pembunuhan massal) kelompok tertentu yang rakus untuk meraih keuntungan pribadi. Pihaknya menyentil pemerintah yang harusnya berani melihat kenyataan bahwa polisi tidak membuat kemajuan apapun untuk mencegah kepunahan orangutan di Kalimantan.
Hal yang perlu disadari oleh semua komponen bangsa adalah, bahwa orangutan dan hutan memiliki ikatan yang kuat dan saling membutuhkan. Mereka hidup, berkomunitas, berkegiatan, merasakan kebebasan, dan akhirnya akan mati di hutan. Bila orangutan merasa terganggu, berarti hutan sudah tidak lagi menjadi rumah yang aman dan nyaman baginya. Hutan kita sudah menjadi ajang kerakusan manusia. Akhirnya satwa pun merasa tidak nyaman tinggal di dalamnya. Kerusakan negeri kita karena korupsi dan kolusi, bisa dilihat dari wajah hutan dan wajah orangutannya.

Salam,,tyasinor :)

Sumber: cahyadi-takariawan.web.id, Wikipedia, Republika.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar