Orangutan
Kalimantan, Pongo
pygmaeus, adalah spesies orangutan asli
pulau Kalimantan. Bersama dengan orangutan Sumatra
yang lebih kecil, orangutan Kalimantan masuk kedalam genus pongo yang dapat ditemui di Asia. Orangutan
Kalimantan memiliki lama waktu hidup selama 35 sampai 40 tahun di alam liar,
sedangkan di penangkaran dapat mencapai usia 60 tahun. (Wikipedia).
Saat
ini,orang utan di ibukota khususnya Ibukota Jakarta, marak dijadikan sebagai
pencari nafkah. Mereka dibeli, kemudian dilatih agar menghasilkan uang untuk si
empunya. Si monyet, hanya sekedar monyet, ia hanya bisa melakukan apa yang
dilatih oleh empunya.
Kisah
orangutan di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Sampai sampai Presiden SBY
menyampaikan peringatan, ”Populasi orangutan berkurang karena hutan sebagai
rumahnya makin mengecil. Dengan melestarikan hutan, kita akan melestarikan
orangutan”. Namun sayang, peringatan ini baru sebatas ungkapan yang belum
ditindaklanjuti dengan penegakan hukum yang tegas dalam menjaga dan memelihara
hutan kita. Masih sangat banyak kalangan pejabat ikut terlibat merusak hutan.
Sejarah
orangutan dimulai pada periode Pleiston, dua juta hingga satu juta tahun yang
lalu, dengan penyebaran hampir mencakup sebagian besar Asia Tenggara. Populasi
orangutan perlahan namun pasti semakin berkurang dan hanya dapat dijumpai di
daerah Kalimantan dan Sumatra. Dengan kata lain, orangutan sekarang pada tahap
akan punah. Hal ini dapat kita lihat pada Daftar Merah Mamalia IUNC (IUNC Red
List of Mammals), berdasarkan Appendix 1 CITIS, populasi orangutan Borneo
diperkirakan tingal sekitar 50.000 individu saja di alam, sedangkan spesies
Sumatra hanya tersisa tidak lebih dari 6.650 individu saja. Jumlah yang sangat
sedikit.
Sebenarnya
sudah ada undang-undang yang melindungi orangutan ini, yaitu UU No. 5 Tahun
1990. Secara tegas undang-undang tersebut melarang individu untuk menangkap,
memelihara, memindahkan dan memperdagangkan hewan yang dilindungi dalam kondisi
hidup, atau mindahkan hewan yang dilindungi di dalam atau di luar wilayah
Indonesia. Namun beginilah wajah hukum di negara kita, selalu ada negosiasi
dalam pelaksanaannya. Selalu ada upaya untuk menghindarkan diri dari
jeratannya. Semua bisa diatur, semua bisa diminta “kebijaksanaannya”.
Seperti
yang terjadi baru-baru ini, orang utan di wilayah Kalimantan dibunuhi. Mereka
terus dibantai, sebagai dampak dari pembabatan hutan untuk membuka perkebunan
kelapa sawit.
Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA Kaltim) dan Centre for Orangutan Protection
(COP) telah mengevakuasi sedikitnya empat orangutan dari Muara Kaman, di
sekitaran kawasan konsesi PT Khaleda, anak perusahaan Metro Kajang Holdings
Berhad Malaysia dan PT Anugerah?Urea Sakti.
Juru
kampanye COP Hardi Baktiantoro, mengatakan puluhan ekor orangutan Kalimantan
(Pongo Pygmaeus) tewas mengenaskan di area perkebunan kelapa sawit di sekitaran
Kutai Kartanegara. Hardi menuding, meski para pemburu bayaran itu mengaku telah
membunuh banyak induk orangutan dan para pekerja mengakui perbuatan menyebarkan
pisang yang sudah disemprot furadan untuk meracuni orangutan.
Sayangnya
hingga hari ini, polisi tidak juga menetapkan seorang pun jadi tersangka dan
tidak ada yang dipenjara. "Ini mengecewakan dan membahayakan bagi
kelangsungan hidup orangutan," ujar Hardi dalam siaran pers yang diterima
Republika.
Situasi
yang sama terjadi di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur. Pada 26 Juli 2011,
BKSDA dan COP terpaksa mengevakuasi dua orangutan. Satu induk orangutan
diidentifikasikan dibunuh para pekerja sawit Makin Group. Dikatakan Hardi,
ketika kuburannya orangutan dibongkar untuk mengetahui penyebab kematiannya.
Hasil
identifikasi menyatakan, mayat orangutan tersebut babak belur seperti terkena
pukulan yang dilakukan berulangkali, kedua pergelangan tangannya luka dan
jarinya putus.
Adapun
di Kalimantan Tengah, COP mengidentifikasi satu tengkorak orangutan di
sekitaran areal konsesi PT TASK dan mengevakuasi tiga anak orangutan yang
ditangkap pekerja setempat. "COP juga menemukan empat tengkorak orangutan
di areal konsesi Wilmar Group pada 20 Agustus 2011."
Hardi
menilai kematian puluhan orangutan bukan terjadi karena konflik manusia dengan
jenis binatang primata tersebut, melainkan upaya genocide (pembunuhan massal)
kelompok tertentu yang rakus untuk meraih keuntungan pribadi. Pihaknya
menyentil pemerintah yang harusnya berani melihat kenyataan bahwa polisi tidak
membuat kemajuan apapun untuk mencegah kepunahan orangutan di Kalimantan.
Hal
yang perlu disadari oleh semua komponen bangsa adalah, bahwa orangutan dan
hutan memiliki ikatan yang kuat dan saling membutuhkan. Mereka hidup,
berkomunitas, berkegiatan, merasakan kebebasan, dan akhirnya akan mati di
hutan. Bila orangutan merasa terganggu, berarti hutan sudah tidak lagi menjadi
rumah yang aman dan nyaman baginya. Hutan kita sudah menjadi ajang kerakusan
manusia. Akhirnya satwa pun merasa tidak nyaman tinggal di dalamnya. Kerusakan
negeri kita karena korupsi dan kolusi, bisa dilihat dari wajah hutan dan wajah
orangutannya.
Salam,,tyasinor
:)
Sumber:
cahyadi-takariawan.web.id, Wikipedia, Republika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar